BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila kita bicara tentang perubahan
kurikulum, kita dapat bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum
dapat dipandang sebagai buku atau dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan
dalam proses belajar-mengajar. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk
yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya.
Keduanya saling berkaitan.
Kurikulum dapat juga diartikan sebagai
sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu direvisi
secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.Selanjutnya
kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan
murid dalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin
direncanakan sepenuhnya betapapun rincinya direncanakan, karena dalam interaksi
dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat
diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi
pengembang kurikulum dalam kelasnya.
Akhirnya kurikulum dapat dipandang
sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita,
nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak didiknya. Kurikulum ini sangat
erat hubungannya dengan kepribadian guru. Kurikulum yang formal, mengubah
pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas daripada kurikulum yang riil.
Kurikulum yang riil, bukan sekadar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olah raga, warung sekolah, tempat bermain, karyawisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum di sini berarti mengubah semua yang terlibat di dalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah, juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.
Kurikulum yang riil, bukan sekadar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olah raga, warung sekolah, tempat bermain, karyawisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum di sini berarti mengubah semua yang terlibat di dalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah, juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.
Perubahan tak selalu sama dengan
perbaikan, akan tetapi perbaikan selalu mengandung perubahan. Perbaikan berarti
meningkatkan nilai atau mutu. Perubahan adalah pergeseran posisi, kedudukan
atau keadaan yang mungkin membawa perbaikan, akan tetapi dapat juga memperburuk
keadaan. Anak yang mula-mula tak mengenali ganja, dapat berubah menjadi anak
yang mengenalnya lalu terlibat dalam kejahatan. Perubahan di sini tidak membawa
perbaikan. Namun demikian sering diadakan perubahan dengan maksud terjadinya
perbaikan. Perbaikan selalu dikaitkan dengan penilaian.
Perbaikan diadakan untuk meningkatkan
nilai, dan untuk mengetahuinya digunakan kriteria tertentu. Perbedaan kriteria
akan memberi perbedaan pendapat tentang baik buruknya perubahan itu. Perubahan,
sekalipun memberi perbaikan dalam segala hal bagi semua orang. Dalam bidang
kurikulum kita lihat betapa banyaknya ide dan usaha perbaikan kurikulum yang
dicetuskan oleh berbagai tokoh pendidikan yang terkenal. Macam-macam kurikulum
telah diciptakan dan banyak di antaranya telah dijalankan. Apa yang mula-mula
diharapkan, akhirnya ternyata menimbulkan masalah lain, sehingga kurikulum itu
ditinggalkan atau diubah. Ada masanya pelajaran akademis yang diutamakan,
kemudian tampil anak sebagai pusat kurikulum, sesudah itu yang dipentingkan
ialah masyarakat, akan tetapi timbul pula perhatian baru terhadap pengetahuan
akademis. Namun demikian, dalam sejarah pendidikan, tak pernah sesuatu kembali
dalam bentuk aslinya. Biasanya yang lama itu timbul dalam bentuk yang agak
lain, pada taraf yang lebih tinggi. Misalnya, bila dalam pelajaran akademis
diutamakan hafalan fakta dan informasi, kemudian diutamakan prinsip-prinsip
utama. Bila pada ketika kurikulum sepenuhnya dipusatkan pada anak, kemudian
disadari bahwa tak dapat anak hidup di luar masyarakat. Disadari bahwa dalam
kurikulum tak dapat diutamakan hanya satu aspek saja, akan tetapi semua aspek :
anak, masyarakat, maupun pengetahuan secara berimbang.
Pendidikan mempunyai
peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu
disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia. Kalau
bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya
berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan
berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Oleh karena itu, Kurikulum
sebagai rancangan pendidikan menentukan proses pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum dalam pendidikan dan dalam
perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan
sembarangan, terutama pada tahap pengembangannya. Pengembangan kurikulum mengacu
pada dua sistem, yaitu; sistem lingkungan dan sistem yang ada dalam kurikulum
itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa sistem kurikulum itu?
2.
Sistem apa saja yang mempengaruhi
terhadap perkembangan kurikulum?
3.
Sejauh mana peran sistem dalam
pengembangan kurikulum?
C. Tujuan Penulisan
Makalah disusun
dengan tujuan mengetahui sistem kurikulum dan menganalisis sistem yang
mempengaruhi terhadap perkembangan kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang
diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan
pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode
jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan
keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan
pendidikan tersebut.
Kurikulum merupakan sarana pencapaian tujuan, jika
tujuan kurikuler berubah, maka kurikulum berubah pula. Perubahan dimaksud
mungkin mengenai materinya, orientasinya, pendekatannya, ataupun metodenya.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu”.
Istilah kurikulum dikenal sebagai suatu istilah
dalam dunia pendidikan sejak kurang dari satu abad yang lampau. Istilah ini
belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama
kalinya dalam kamusnya tahun 1856. Yaitu:
A race course ; a place for running ; a chariot.
A courase in general ; applied particulary to the
course of study in a university.
Jadi “kurikulum” adalah jarak yang harus
di tempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir.
“kurikulum” juga berarti “chariot” semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni
suatu alat yang membawa seseorang dari “start” sampai “finish”. Di Indonesia
istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima
puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di America
serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran” pada
hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran.
Dalam teori praktik, pengertian kurikulum yang lama
sudah banyak ditinggalkan. Para ahli-ahli pendidikan kebanyakan memberi arti
atau istilah yang lebih luas. Perubahan ini terjadi karena ketidakpuasan dengan
hasil pendidikan di sekolah dan ingin selalu memperbaiki. Selain itu yang mempengaruhi
perubahan dari makna atau arti kurikulum adalah perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang dapat mengubah perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Disamping itu banyak timbul pendapat-pendapat baru,
tentang hakikat dan perkembangan anak, cara belajar, tentang masyarakat dan
ilmu pengetahuan yang memaksa diadakannya perubahan dalam kurikulum.
Pengembangan kurikulum adalah proses yang tak hentinya, yang harus dilakukan
secara kontinu. Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah, praktek
pendidikan disekolah senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori
kurikulum. Bukan suatu yang aneh. Bila suatu teori kurikulum baru menjadi
kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian.
Dengan bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai
macam definisi kurikulum, sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya
kurikulum itu. Akhirnya setiap pendidikan, setiap guru harus menentukan
sendiri apakah kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh
seseorang akan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dalam kelas maupun diluar
kelas.
Dibawah ini beberapa kurikulum menurut beberapa para
ahli kurikulum.
1)
J. Galen
Taylor dan William M. Alexander, dalam buku curriculum planning for better
teaching and learning (1956). Menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut
“segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di
halaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum.
2)
Harold B.
Albertycs. Dalam reorganizing the high school curriculum (1965). Memandang
kurikulum sebagai “all school”. Seperti halnya dengan definisi saylor dan
Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran akan tetapi juga
meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar kelas, yang berada dibawah
tanggung jawab sekolah.
3)
B. Othanel
Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores. Memandang kurikulum sebagai “a
sequence of potential experience set up in the school for the purpose of
diseliping ehildren and youth in group ways of thinking and acthing”. Mereka
melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat
diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berfikir dan berbuat
sesuai dengan masyarakatnya.
4)
William B
Ragan, dalam buku modern elementary curriculum (1966) menjelaskan arti
kurikulum sebagai berikut: Ragan menggunakan kurikulum dalam arti luas, yang
meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman
anak dibawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan
pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan social
antara guru dan murid, metode pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk
kurikulum.
5)
J. Lloyd
Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya secondary school improfement (1973).
Juga menganut definisi kurikulum yang luas, menurut mereka dalam kurikulum juga
termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh
program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan
administrasi dan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta
kemungkinan memilih mata pelajaran.
6)
Alice Miel
juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya changing
the curriculum : a social process (1946) ia mengemukakan bahwa kurikulum juga
meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan
sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat,
para pendidik, dan personalia. Definisi Miel tentang kurikulum sangat
luas yang mencakup yang meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan,
kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita serta norma-norma melainkan
juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh pegawai sekolah.
7)
Edward A,
Krug dalam secondary school curriculum (1960) menunjukan pendirian yang
terbatas tapi realities tentang kurikulum, kurikulum dilihatnya sebagai
cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia membedakan tugas
sekolah mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan
lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan lain-lainnya.
B. Kurikulum Sebagai Suatu Sistem
Beberapa
pandangan ahli mengenai Sistem :
Menurut Ludwig
Von Bartalanfy, “Sistem merupakan seperangkat unsur yang saling terikat dalam
satu kesatuan dan diantara unsur-unsur tersebut ada relasi dengan lingkungan.”
Menurut Anatol
Raporot, “Sistem adalah suatu kumpulan kesatuan dan perangkat hubungan satu
sama lain.”
Menurut L.
Ackof, “Sistem adalah setiap kesatuan secara konseptual atau fisik yang terdiri
dari bagian-bagian, dalam keadaan saling tergantung satu sama lainnya”.
Dari ketiga
pendapat di atas, maka sistem dapat diartikan dengan konsep dasar yang lebih
luas, yaitu; suatu jaringan kerja yang terdiri dari sejumlah komponen-komponen
yang saling berinteraksi, bekerjasama membentuk satu kesatuan.
Komponen-komponen dari sistem itu dapat berupa suatu subsistem atau
bagian-bagian dari sistem. Setiap subsistem mempunyai sifat-sifat dari sistem
untuk menjalankan suatu fungsi tertentu dan mempengaruhi proses sistem secara
keseluruhan. Suatu sistem dapat mempunyai suatu sistem yang lebih besar yang
disebut dengan supra sistem. Misalnya, kurikulum disebut dengan suatu sistem,
sedangkan pendidikan merupakan sistem yang lebih besar, maka pendidikan disebut
dengan supra sistem dan kurikulum disebut sebagai subsistemnya. Demikian juga
bila kurikulum dipandang sebagai suatu sistem, maka komponen-komponen yang ada
di dalamnya seperti tujuan, materi, metode, dan evaluasi semuanya adalah
subsistemnya.
Komponen-komponen
tersebut saling berkaitan dan menunjang antar satu dengan yang lain untuk
mencapai tujuan dari kurikulum. Dengan demikian, kurikulum disebut sebagai
system, dan sekaligus sebagai subsistem dari pendidikan, yang mempunyai peran
untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri.
C. Komponen Kurikulum
Kurikulum
memiliki empat komponen utama, yaitu: tujuan, materi, strategi/metode
pembelajaran, dan evaluasi (dalam versi lain ada lima; tujuan, materi, sumber
belajar, dan evaluasi ). Keempat komponen tersebut memiliki keterkaitan yang
erat dan tidak bisa dipisahkan antar satu dengan yang lain. Adanya keterkaitan
itulah yang disebut dengan suatu sistem dalam kurikulum. Untuk lebih jelasnya,
di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
1.
Tujuan
Dalam
perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara
jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bahwa: ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan
pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik,
dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan
tertentu.
2.
Materi
Pembelajaran
Berkenaan
dengan penentuan materi pembelajaran, pendidik memiliki wewenang penuh untuk
menentukan materi pembelajaran, sebagaimana yang telah diterapkan dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, yaitu kesesuaian standar kompetensi dan kompetensi
dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya
untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut:
1)
Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah
teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan
merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan
kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2)
Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi
tersebut penting untuk dipelajari.
3)
Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non
akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih
lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan
sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4)
Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat
kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek
kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5)
Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta
didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga
memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
3.
Strategi
pembelajaran
Perbedaan filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum dalam
menentukan tujuan dan materi pembelajaran, berkonsekuensi terhadap penentuan
strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan
dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual, sebagaimana yang
banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan
budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang
dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di
dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan
pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara
pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode pembelajaran seperti ini
cenderung lebih bersifat tekstual.
Sedangkan
menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses
pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif
menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya,
sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh
materi dan mencapai tujuan belajarnya.
4.
Evaluasi
Kurikulum
Evaluasi
merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi
kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan.
Sedangkan dalam
pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa
kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator
kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga
relevansi, efisiensi, kelayakan (feasibility) program.
Keempat
komponen kurikulum di atas harus ada kesesuaian antar satu dengan yang lain.
Isi sesuai dengan tujuan, metode sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga
evaluasi sesuai dengan metode, isi, dan tujuan kurikulum.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau
dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai bertikut:
1)
Kurikulum
dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembangan
kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
2)
Kurikulum
yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah
untuk mencapai tujuannya.
3)
Kurikulum
dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa,
yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
4)
Kurikulum
sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan
kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara actual menjadi
kenyataan pada setial siswa.
D. Sirkulasi Perubahan Kurikulum
Dalam
perjalanan dunia pendidikan di Indonesia, salah satu upaya pemerintah untuk
mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan adalah melakukan perubahan kurikulum
pendidikan. Perubahan tersebut merupakan salah satu langkah pengembangan antara
kurikulum yang ada dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Sampai saat ini
pemerintah telah menerapkan kurang lebih enam bentuk kurikulum, yaitu Kurikulum
1968, Kurikulum 1975, kurikulum1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 atau
Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan yang terakhir Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
1.
Kurikulum
1968
Kelahiran
Kurikulum 1968 ini bersifat politis:
mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan
pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya sembilan.
Djauzak
menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran
pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak
mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi
apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
2.
Kurikulum
1975
Kurikulum 1975
menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Metode,
materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu
rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi:
petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat
pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum model ini banyak
mendapatkan kritikan, sebab guru terlalu disibukkan menulis rincian apa yang
akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran, sehingga konsentrasinya kurang
terfokus.
3.
Kurikulum
1984
Kurikulum 1984
mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi
faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975
yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
4.
kurikulum
1994
Kurikulum 1994
bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya
ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara
pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Materi muatan
lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah
kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
5.
Kurikulum
2004
Bahasa kerennya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila
dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah
maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang
ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian
yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru
diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar
di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun
tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
6.
KTSP
2006
Awal 2006 uji
coba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Tinjauan
dari segi isi dan
proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi
tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol
adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai
dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini
disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar
kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap
satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi
pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian
merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan
supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR).
Jika kita menilik dari berbagai jenis kurikulum yang
telah diterapkan, maka secara garis besar bahwa komponen-komponen yang tersebut
di atas pada dasarnya sudah ada disetiap kurikulum yang pernah diterapkan dalam
dunia pendidikan kita. Namun yang menjadi masalah adalah kurikulum tersebut
bersifat fleksibel, sehingga pemberlakuan isi kurikulum harus disesuaikan
dengan waktu dan situasi tertentu sesuai dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi,
dan perkembangan masyarakat. Perubahan isi kurikulum inilah
yang menjadi masalah, mengingat pemberlakuannya cukup sulit untuk dapat
diterapkan serentak secara nasional. Akibatnya hanya wilayah-wilayah tertentu
saja yang dapat mengikuti perkembangan kurikulum tersebut, sementara wilayah
lain boleh jadi tidak mengenal kurikulum yang sedang diberlakukan, dan
tiba-tiba saja sudah ganti kurikulum yang baru.
Secara umum ada
beberapa pendekatan dalam pengembangan kurikulum yang diterapkan dalam dunia
pendidikan kita. Pendekatan tersebut antara lain :
-
Dari awal
kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1960-an pendekatan berbasis materi (content
based approach)
-
Akhir tahun
1960 –an sampai dengan pertengahan tahun1980-an pendekatan berbasis kompetensi (competence
based approach) dan pendekatan belajar tuntas (mastery learning
approach)
-
Akhir tahun
1980-an sampai dengan awal 1990-an pendekatan berbasis out come (outcome
based approach)
-
tengah
tahun1990-an sampai dengan sekarang pendekatan berbasis standar (standard
based approach)
Melihat beberapa pendekatan yang telah dilakukan dalam
rangka pembenahan kurikulum tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa
perubahan kurikulum yang telah terjadi hanyalah pada desain isi kurikulum saja,
yang hal itu, terjadinya karena banyak dipengaruhui oleh sistem lingkungan yang
terus berkembang.
E. Enam Fase Perubahan Kurikulum
Menurut
Lippit, ahli psikolgi social yang terkemuka,
ada enam fase perubahan kurikulum, yaitu:
1)
Penggunaan sumber sumber
(resources) baru.
Pertimbangannya
adalah factor dukungan internal dan eksternal pada siswa. Contoh dukungan
internal, siswa harus menerima kesempatan pembelajaran yang relevan dengan
dunia mereka, nilai, ketertarikan dan rasa ingin tahu mereka. Mereka harus
mendapat umpan balik dari respon mereka. Mereka harus belajar bagaimana cara
belajar dan menyenangi pencarian (penelitiannya) dan pengakhirannya. Pengembang
kurikulum juga harus memperhitungkan peran teman sebaya sebagai factor eksternal
siswa.
2)
Presentasi sumber-sumber baru.
Penyusun
kurikulum seharusnya melibatkan guru dalam mengkaji ulang, mengevaluasi dan
mengeksplorasi relevansi materi baru. Guru juga seharusnya diberi kebebasan
untuk mengeksplorasi kecakapan baru yang diperlukan untuk mempelajari konsep
dan teknik baru dan berkolaborasi dengan perguruan tinggi baik dalam latihan
maupun belajar bersama. Kurikulum yang baru juga harus melengkapi guru dengan
alat untuk mendiagnosa respon kelas mereka dan untuk melibatkan siswa dalam
mengadaptasi kurikulum dan menciptakan prosedur prosedur baru.
3)
Adopsi sumber sumber baru.
Keputusan
adopsi oleh komite kurikulum sebaiknya melibatkan pengambil keputusan yang
tepat dalam mengkaji ulang alternative alternative yang ada. Harus ada kajian
terhadap criteria yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan rencana
alternative alternative tes, mempertimbangkan kemungkinan yang akan terjadi dan
mempelajari respon pebelajar terhadap metode yang digunakan. Pebelajar
sebaiknya dilibatkan dalam evaluasi materi baru.
4)
Penyelidikan sumber sumber
baru.
Dalam
penelitian untuk mendapatkan gagasan gagasan baru, perencana kurikulum
sebaiknya memulainya dari ‘rumah’. Mereka sebaiknya mereka menghargai kurikulum
kurikulum kreatif yang ‘tersembunyi’ di daerahnya. Perencana sebaiknya juga
mempertimbangkan neighboring school system (system yang ada di lingkungan
sekitar sekolah). Mereka sebaiknya menyelesaikan masalah (rintangan) dengan sharing dengan lingkungannya. Penyusun
kurikulum juga sebaiknya melihat sumber sumber alam yang ada.
5)
Distribusi sumber sumber baru.
Difusi
kurikulum juga bergantung pada tersedianya sumber sumber belajar bagi guru.
Guru harus memiliki kesempatan untuk mencapai kecakapan menggunakan kurikulum
baru. Mereka juga seharusnya memiliki kesempatan mencoba agar tertarik dan
merasa bebas untuk mengadaptasi bahan.
6)
Pengembangan sumber sumber
baru .
Materi
baru bisa dikembangkan oleh seluruh tim
dalam sekolah, ide kreatif seorang guru atau staf proyek penelitian dan
pengembangan. Pengembangan kurikulum memerlukan
indentifikasi tujuan yang diprioritaskan , inti pengetahuan, pengalaman
yang terkait dengan isi, ketertarikan dan kompetensi pebelajar. Guru seharusnya
dibantu untuk memahami dan menggunakan sumber sumber dan mengevaluasi bahan dengan trampil
sehingga kurikulum mengalami peningkatan secara kontinyu.
F. Peranan Sistem dalam Pengembangan Kurikulum
Salah satu model pengembangan kurikulum adalah The systematic action-research model. Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum
merupakan perubahan sosial. Hal ini mencakup suatu proses yang melibatkan
kepribadian orang tua, siswa guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan
pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut
model ini menekankan pada tiga hal yaitu; hubungan insani, sekolah dan
organisasi masyarakat, serta wibawa dari guru profesional.
Kurikulum
dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat,
pengusaha, siswa, guru, dan lain-lain. Mereka mempunyai pandangan tentang
bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan kurikulum
dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan kurikulum harus memasukkan
pandangan dan harapan-harapan masyarakat. Inilah keterkaitan pengembangan
kurikulum dengan lingkungan, bahwa sisitem dalam lingkungan juga berperan
sangat penting dalam pengembangan kurikulum.
Oleh karena
itu, keterkaiatan komponen-komponen yang ada, baik dalam lingkungan masyarakat
atau pun yang ada dalam kurikulum itu sendiri, merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan dan saling berhubungan, dan itulah yang disebut dengan
sistem. Dengan demikian, maka peranan sistem dalam pengembangan kurikulum
merupakan hal yang sangat penting adanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengingat
kembali isi bab ini, berbagai persoalan menjadi jelas. Satu persoalan adalah
pendekatan inovatif kurikulum: sebaiknya dari sudut pandang penggunanya (guru
dan siswa) atau orientasi pengembang mengacu pada produk? Pemilihan rekomendasi
untuk menggunakan teknik penilaian kebutuhan, pendekatan problem-solving staf,
tindakan kelas dan guru sebagai agen perubahan juga membantu pemecahan
persoalan. Pemilihan manipulasi organisasi, struktur social, pendekatan system
dan adopsi model R dan D disisi lain juga membantu.
Dalam
pengembangan kurikulum ada dua sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang
perlu menjadi acuan, yaitu; sistem lingkungan dan sistem kurikulum. Sistem
lingkungan terdiri atas beberapa komponen yaitu; Alam, Sosial, Budaya, Politik,
Ekonomi, dan Agama.
Sedangkan
sistem kurikulum terdiri atas beberapa komponen juga yaitu; tujuan, metode,
materi/isi, dan evaluasi. Masing-masing dari kedua sistem tersebut harus ada
relevansi atau kesesuaian antar satu dengan yang lain. Kesesuaian sistem yang ada dalam kurikulum
mengacu pada kesesuaian sistem yang ada dalam lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan
kebutuhan, kondisi, karakteristik, dan perkembangan yang ada di lingkungan
masyakarakat.
B. Saran
Kebutuhan
pendidikan kini semakin kompleks, begitu pula dengan kenbutuhan kurikulum yang
ada juga semakin berkembang, maka disarankan agar tiap sekolah atau lembag
pendidikan menerapkan suatu sisten kurikulum yang sesuai dengan keadaan
lingkungan sekolahnya, dan masyrakat sekitar. Memahami sistem dalam
pengembanagn kurikulum sangatlah penting, oleh karenanya, masih butuh banyak
refrensi untuk kita kaji sebagai pelengkap pengetahuan kita dalam memahami
sistem kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwikarta,S,
1994. Kurikulum yang Berorientasi
pada Kekinian, Kurikulum untuk Abad 21, akarta : Grasindo.
Dimyati dan
Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Roni, Ahmad. Masalah Kurikulum
dalam Pembelajaran.http://kurtek.epi.edu/kurpen/6-pembelajaran.html.diakses,10:11 WIB. /30/03/2012
Syaodih
Sukmadinata, Nana. 2004. Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar