BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada abad 15 para saudagar
muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga
mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara.
Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah
Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam
menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa. Walisongo berasal dari keturunan syeikh ahmad bin isa muhajir dari
hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari
arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah.
Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut
merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan
penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan
sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal sebagai zaman “kewalen”. Para wali
itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan
konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya juga Sembilan orang. Adapun Sembilan orang wali yang
dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria,
Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Walisongo ?
2. Apa kostribusi Walisongo ?
3. Bagaimana peran Walisongo
dalam penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian walisongo.
2. Untuk mengetahui konstribusi walisongo
3. Untuk mengetahui peran Walisongo dalam
penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Walisongo
Kata
Walisongo diartikan dengan wali yang berjumlah sembilan (songo/sanga dalam
bahasa jawa yang berarti sembilan). Namun demikian terdapat beberapa penafsiran
lain. Kata sanga merupakan perubahan dari kata arab tsana yang berarti terpuji.
Sehingga Walisongo berarti wali yang terpuji. Penafsiran lain, menjelaskan
bahwa kata sanga diambil dari kata sangha yang dalam agama budha berartri
jama’ah para biksu (Ulama’) sehingga walisongo berarti perkumpulan para wali
yang terhimpun dalam suatu lembaga dakwah.
Walisongo
berarti sembilan orang wali, mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria serta sunan Gunungjati.
Keberhasilan Islamisasi jawa merupakan hasil perjuangan
dan kerja keras Walisongo. Proses islamisasi ini sebagian besar berjalan secara
damai, nyaris tanpa konflik, baik polotik maupun kultural, meskipun terdapat
konflik, skalanya sangat kecil, sehingga tidak mengesankan sebagai perang,
kekerasan ataupun pemaksaan budaya. Penduduk jawa menganut dengan suka rela.
Walisongo menerapkan metode dakwah yang akomodatif, dan
lentur, sehingga kehadiran mereka bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
Kehadiran para wali ditengah-tengah masyarakat jawa tidak dipandang sebagai
ancaman. Dengan kepiwaianya para wali menggunakan unsur-unsur bedaya lama (
Hindu atau Budha) sebgai media dakwah mereka. Sedikit demi sedikit mereka
memasukan nilai-nilai ajaran Islam kedalam unsur-unsur lama itu. Metode ini
sering disebut metode sinkretisme.
Periode
walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu Budha dalam budaya nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia khusunya dijawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun
peranan sangat besar yang mereka mainkan tidak hanya dalam kontek sejarah
pendirian kerajaan islam dijawa, juga pengaruhnya yang begitu besar dalam
kehidupan dan pembentukan kebudayaan masyarakat. Pemikiran dan gerakan yang
dilakuka para wali ini dalam pengembangan dakwah Islam secara langsung, membuat
”sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding dengan yang lain.
Dalam
kata lain, masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai ”Tabib” bagi kerajaan Hindu majapahit, Sunan Giri yang disebut para
Kolonialis sebagai ”Paus dari timur” hingga sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat jawa yakni
nuansa hindu dan Budha.
B.
Konstribusi Walisongo
1. Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, dia
adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang
ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum beliau datang, islam sudah ada
walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang
nisannya bertuliskan tahun 1082.
Dikalangan rakyat jelata Sunan Gresik atau sering
dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal terutama di kalangan kasta rendah yang
selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa
dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama sederajat hanya orang yang
beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya di sisi Allah. Dia mendirikan
pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan menggenbleng para
santri sebagai calon mubaligh.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar
tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo yang
dianggap sebagai ayah dari walisongo. Beliau wafat di gresik pada tahun 882 H
atau 1419 M.[1][8]
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden Rahmat adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan. Beliau memulai
aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat dengan Surabaya.
Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri),
Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim
(putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin
(Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.
Menurut Babad
Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Manjapahit,
bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra Prabu
Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat sebagai
perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah
sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan
Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain.
Pada awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel
menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju
bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya
tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama
Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua
kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya
secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut
terlihat dari persetujuannya ketika
Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan
agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Dan beliau wafat pada
tahun 1478 dimakamkan disebelah masjid Ampel.
3. Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim)
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra
Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid. Beliau
dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran
Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Psai, Aceh, Sunan Bonang
kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri
yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan
agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa
yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan
pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan
napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi
pesan tauhid, sikap menyembah Allah SWT. dan tidak menyekutukannya. Setiap bait
lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang
mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain.
Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis
macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang
wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.
4. Sunan Giri
Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan
ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri
terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunana Giri tidak
bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia
adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta
terlibat dalam penyerangan ke Majapahit
sebagai penasihat militer.
Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan,
yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang
dilanda musibah. Beliau pernah bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam
untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya
sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang
dibawahi dari negeri Pasai melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di
daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang
dinamakan Pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya daam waktu tiga tahun
pesantren tersebut terkenaldi seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau
nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang tau bersama
muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang
bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.
5. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Ada suber yang
lain yang mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan
seorang ibu bernama Dewi Candrawati. Jadi Raden Qasim itu adalah saudaranya
Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Oleh ayahnya yaitu Sunan Ampel, Raden
Qasim diberi tugas untuk berdakwah di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah
antara Gresik dengan Tuban.
Di desa Jalang itulah Raden Qasim mendirikan
pesantren. Dalam waktu yang singkat telah banyak orang-orang yang berguru
kepada beliau. Setahun kemudian di desa Jalag, Raden Qasim mendapat ilham agar
pindah ke daerah sebalah selatan kira-kira sejauh satu kilometer dari desa
Jelag itu. Di sana beliau mendirikan Mushalla atau Surau yang sekaligus
dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga tahun tinggal di daerah itu, beliau
mendaat ilham lagi agar pindah tempat ke satu bukit. Dan di tempat baru itu
belaiu berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh
seperangkat gamelanuntuk mengumpulkan orang, setelah itu lalu diberi ceramah
agama. Demikianlah kecerdikan Raden Qasim dalam mengadakan
pendekatan kepada rakyat dengan menggunakan kesenian rakyat sebagai media
dakwahnya. Sampai sekarang seperangkat gamelan itu masih tersimpan dengan baik
di museum di dekat makamnya.
6. Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden
Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda
yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima
keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari
makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan
ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak
darahnya dan diusir.
Setelah diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah
putih, dia adalah Sunan Bonang. Lalau Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu
disuruh menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh
tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga.
Sunan kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka
penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian
lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti
Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa
terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada
awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan
Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton
untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik
dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan
ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.
7. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Sunan Kudus menyiarkan agama
Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki keahlian khusus dalam
bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika.
Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali
al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi
oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Ada cerita yang mengatakan
bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina, dan pernah
berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas
jasanya itu, oleh pemerintah Palestiana ia diberi ijazah wilayah (daerah
kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut
dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat) permintaan itu
dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah Loran tahun
1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus)
dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota
di Palestina, al-Quds.
Dalam melaksanakan dakwah
dengan pendekatan kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan.
Yang paling terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil.
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a. Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan
1) Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
2) Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam
menyiarkan agama islam
3) Tut Wuri Handayani
4) Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah
diubah langsung diubah.
b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan
menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan
keramat.
c. Merangkul masyarakat Budha
Setelah masjid, terus Sunan Kudus mendirikan padasan
tempat wudlu denga pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca
kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “ Jalan
berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
d. Selamatan Mitoni
Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan
sejarah Nabi. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di
pintu makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang
berangka tahun 1296 H atau 1878 M.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Salah seorang Walisongo yang
banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaab Pulau Jawa adalah Sunan
Muria. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan
dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara Kota
Kudus sekarang).
Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi
Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu
menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Muria
dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang,
nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan
kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang
menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa
dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan
sebagainya.
Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria
mengajak umatnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria
lebih senang berdakwah pada rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah
inilah yang menyebabkan suna Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwak tapa
ngeli yaitu menghanyutkan diri dalam masyarakat.
9. Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah)
Salah seorang dari Walisongo
yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah
Jawa Barat; juga pendiri Kesultanan Cirebon. Nama aslinya Syarif Hidayatullah.
Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Sunan Gunung
Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Setelah selesai menuntut ilmu pasa tahun 1470 dia
berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal
dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk
meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif
gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah
dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi
Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun
1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui
diplomasi dengan kerajaan lain.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang
belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan Banten.
C.
Peran Walisongo dalam Penyebaran
dan Perkembangan Islam di Indonesia
Sejarah
walisongo berkaitan dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa. Sukses
gemilang perjuangan para Wali ini tercatat dengan tinta emas. Dengan didukung
penuh oleh kesultanan Demak Bintoro, agama Islam kemudian dianut oleh sebagian
besar manyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan. Islam
benar-benar menjadi agama yang mengakar.
Para wali ini mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah
maupun sebagai tempat mengajarkan agama. Konon, mengajarkan agama di serambi
masjid ini, merupakan lembaga pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih
demokratis. Pada masa awal perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut ”gurukula”, yaitu seorang guru menyampaikan ajarannya
kepada beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya tidak masal bahkan
rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain prinsip-prinsip
keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan,
kekebalan, dan bela diri.
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan da’wah
atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat
maka akan segera diganti oleh walilainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya
dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan
Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat
besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
"sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang
sangat penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15.
Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain:
1) Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam
kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya
masing-masing.
2) Sebagai para pejuang yang gigih dalam
membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
3) Sebagai orang-orang yang ahli di bidang
agama Islam.
4) Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT
karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang
lebih.
5) Sebagai pemimpin agama Islam di daerah
penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di
kalangan masyarakat Islam.
6) Sebagai guru agama Islam yang gigih
mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
7) Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama
Islam dengan cukup luas.
8) Sebagai tokoh masyarakat Islam yang
disegani pada masa hidupnya.
Berkat kepeloporan dan perjuangan wali
sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai
ke seluruh daerah di Nusantara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberhasilan
islamisasi jawa merupakan hasil perjuangan dan kerja keras walisongo. Proses
islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai nyaris tanpa konflik, baik
politik maupun kultural. Meskipun terdapat konflik sekaligus skalanya sangat
kecil, sehingga tidak mengesankan sebagai perang, kekerasan ataupun pemaksaan
budaya, sehingga penduduk jawa menganut Islam secara sukarela.
Diantara
para walisongo yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria serta sunan
Gunungjati.
B. Saran
Begitu
besar sekali peran serta Walisango dalam proses Islamisasi di Pulau Jawa, sudah
selayaknyalah kita setidaknya menghormati kegigihan beliau di masa itu untuk
acuan pembelajaran yang nantinya akan bermanfaat untuk kesuksesan kita seperti
kesuksesan Walisango dalam pengislamisasian di Jawa. Jangan hanya kisah
Walisango hanya di buat seperti mitos ataupun legenda yang tak bermakna, namun
banyak ikhtibar atau pelajaran yang dapat kita ambil.
DAFTAR PUSTAKA
http://kumpulan-makalah-adinbuton.blogspot.com
http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/05/makalah-peran-walisongo-dalam.html
http://www-yusufblogspot.blogspot.com/p/makalah-perananan-wali-songo-dan.html
Drs.Akhmadi
Wahid,Mag,dkk ”sejarah kebudayaan Islam,Menjelajahi
peradaban Islam”
Dr.Murodi,MA
”sejarah kebudayaan Islam”